My First Boyfriend

Posted by Ratna Tanjung on Sunday, February 27, 2011
Takdir akhirnya telah mempertemukanku dengannya. Tepatnya 16 Oktober 2010, ketika kampus kami mengadakan kegiatan Kemah Bakti Mahasiswa, di Bumi Perkemahan Kajar, Kudus, Jawa Tengah.
Saat itu, hujan deras. Aku beserta teman yang lain, berteduh di bawah tenda biru. Ia juga ada di sana, bersama seorang temannya. Kami berdiri bersebelahan, dan hanya sibuk berbicara dengan teman masiang-masing. Namun, sampai pada akhirnya, temannya memberanikan diri untuk memulai pembicaraan denganku. Aku, mereka, dan beberapa temanku larut dalam obrolan. Obrolan ringan, tanpa adanya sebuah perkenalan nama, baik darinya maupun dariku. Dan akhirnya, hujan pula lah yang mengakhiri pertemuan kita waktu itu.

17 Oktober 2010, tepatnya sehari selang pertemuan tersebut, takdir kembali mempertemukan kami. Entah angin apa yang membawanya hingga ia dan seorang temannya yang lain, dapat terangkut bersama truk yang membawa rombongan anak Analis Kesehatan siang itu. Dan yang lebih takku sangka, ia duduk tepat di depanku.

Waktu itu pun, sama sekali tak terlintas di benakku kalau ia lah yang akan memjadi pacar pertamaku. Dan aku pun juga tak pernah berharap akan adanya seorang lelaki, apalagi kakak senior, jatuh hati padaku, di saat penampilanku sangat tragis, lantaran dua hari tak mandi.
Selama hampir dua jam perjalanan Kudus-Semarang, ia hanya terdiam, dan beberapa kali aku memergokinya tengah asyik manatap mataku. Entah apa yang ada di otaknya. Mungkin saja ia merasa jijik melihat penampilanku yang memprihatinkan. Aku tak terlalu memperdulikannya. Kondisi sangat tidak memungkinkan untukku membayangkan hal-hal yang berhubungan dengan cinta. Kepala yang berkunang-kunang, rasa mual yang telah mengocok perut, telah mengalahkan segalanya. Yang ada di benakku saat itu hanyalah keluar dari truk TNI yang pengap dan penat tersebut, kemudian pulang dijemput bapak, makan mie ayam, minum wedang jeruk, dan mandi air hangat. Hanya itu.


Bulan Oktober telah berlalu. Bayangnya di benakku pun telah sirna. Bahkan, tak terlimtas sedikit pun (kasihan…). Minggu, 21 November 2010, seperti biasa, pagi itu aku dan adik terkecilku pergi jalan-jalan ke stasiun yang tak jauh dari rumah. Di sudut stasiun yang ramai akan lalu-lalang manusia, aku dan adikku tengah asyik menikmati sosis dan tempura goreng yang baru saja kami beli. Di tengah kenikmatanku, aku dikagetkan dengan datangnya sosok yang parasnya tak asing dalam memoriku. Ya, dugaan kalian tepat! Itu benar-benar dia.


Tak ku sangka, untuk ketiga kalinya takdir telah mempertemukan kita kembali. Dari situ lah awal mula perkenalan kami. Beberapa pertanyaan mulai dari nama, di mana aku tinggal, bidang study yang aku ambil, beberapa pertanyaan tentang adik yang aku bawa, hingga menanyakan tentang nomor hape. Sejak saat itu lah, kecurigaan dan imajinasi-imajinasi bahwa ia menaruh hati padaku, mulai tercipta (hal ini biasa terjadi pada diriku, bilamana aku bertemu lawan jenis).
Sesampainya di rumah, aku membuka hape, dan mandapati dua SMS darinya. Di pesan singkat tersebut, ia menuliskan nama lengkapnya, Yoyok Prasetyo (jujur, aku gugup waktu harus menuliskan nama ini). Dan di pesannya yang kedua, ia menayakan “sudah sampe rumah belom dek?”. Aku jawab saja, “udah”.
Tak cukup sampai di situ, hampir setiap hari ia tak pernah absen untuk mengirim SMS. Awalnya jawabanku biasa saja. Seperlunya. Namun, tabiat asliku muncul. Dan keromantisan mulai tercipta. Kata-kata manja, hangat dan sarat akan mutiara-mutiara islami darinya, telah memancingku untuk berlaku sama, meskipun rasa itu belum tumbuh.

Di kampus, aku pun tak segan menceritakan kisah ini pada beberapa temanku (memang inilah sifatku, yang tak bisa dan tak biasa mamendam perasaan kasmaran). Ada celetukan dari salah seorang teman, “misalkan wonge nembak koe piye?” “Hahaha…mbuh...aneh-aneh !”. Celetukan tersebut tak terlalu ku anggap.


Dini hari, ketika ibu menyuruhku untuk untuk pergi ke pasar, tanpa ragu aku pun menerimanya. Hal ini jarang sekali aku lakukan. Apalagi waktu itu aku ada kelas pukul tujuh pagi. Hanya ada satu alas an mengapa aku lakukan semua itu. The reason is him. Ketika kami bertemu di stasiun waktu itu, ia bercerita padaku bahwa setiap pagi ia sibuk menjadi juru parkir di pasar dekat rumahku.
Dengan langkah penuh harap, ku terjang kabut pagi , kulangkahkan kaki menuju impian. Ketika tiba di pasar, mataku pun bergerilya mengamati satu per satu hilir mudik manusia. Dan tentu saja tempat yang paling aku teliti adalah tempat parkir. Singkat cerita, aku pun bertemu dengannya. Ketika aku berhasil menemuinya, hatiku pun lega. Memang hanya beberapa menit, tapi itu merupakan menit-menit yang berkesan (mungkin baginya).

Tiga hari selang pertemuan kami yang ketiga, ia telah berani mengirimkan pesan-pesan nakal dan penuh kegombalan. Mulai dari “Dek, waktu ketemu kemarin, kok mas deg-degan ya?” . “Dek, adek sudah pernah pacaran sebelumnya?”. Aku: “belom,,,emangnya kenapa mas?”. “Sudah kuduga. Pancaran wajah adek juga mengatakan demikian”.(Oh No… Gombal banget !!!!! Pasti setelah ini bakal terjadi hal-hal yang membuatku insomnia). Dan dugaanku benar. SMS terakhir yang ia kirimkan untukku sebelum tidur, memperkuat dugaan awalku. “Dek, tau ga doanya mas pas waktu di truk?” “Ga… apa???” “Bobok dulu ya dek. Nanti habis solat malam, Insyaallah mas SMS doanya mas pas di truk.” OMG……aku benar-benar tak bisa tidur.

25 November 2010 tengah malam. Getaran hape yang mencapai 5 skala richter, mengacaukan denyut jantung. Perlahan tapi pasti, ku buka inbox. Ya, ia menepati janjinya. Dengan denyut jantung yang makin menjadi, kubaca teliti, bahkan berulang kali ku yakinkan diriku tentang isi pesan tersebut. “Bismillah, ya Robb, jadikanlah ia penyempurna separuh agamaku, atau setidaknya jadikanlah ia salahsatu dari 73 bidadariku di surga kelak. Insyaallah”. Dan yang lebih mencengangkan lagi adalah jawaban dariku. Singkat, padat, dan sulit aku percaya, “Amin…”. Ya…tanpa sadar aku mengamini hal tersebut. Segera ia mengirimkan balasan “Belom tidur dek? Berdoalah ketika orang kebanyakan tengah terlelap tidur dek….niscahya Allah akan mengabulkan. Setelah baca doanya mas tadi, adek mau doa apa?”

Aku pun malakukan saran yang ia berikan. Satelah melakukan ibahah malam, giliranku untuk menepati janji. “Mas, jujur, beberapa hari ini aku salalu berdoa agar aku dipertemukan dengan jodohku. Dalam doaku tadi aku meminta, ya Allah, apabila benar ia adalah jodoh hamba, maka berikanlah kelancaran kapada kami berdua”.

Keesokan harinya aku baru menyadari semua yang telah terjadi semalam. It’s so crazy…………………….. !!!!! Hah !!! Mengapa aku lakukan semua ini??? Perasaanku waktu itu tak menentu, antara cinta dan keraguan. Jujur, telah lama aku menginginkan someone special dalam hidupku. Tapi mengapa Tuhan begitu cepat mengabulkan doaku??? Entahlah. Nasi t’lah menjadi bubur. Dan akan kunikmati bubur tersebut.

Aku pun mulai terbiasa dengan status yang kusandang saat itu. Bahkan di pagi buta, aku rela membuat kue untuknya. Adonan nastar yang ku cetak menggunakan cetakan berbentuk love dan bintang. Sebelas kue kecil itu pun aku tata rapi di dalam wadah kecil milik ibuku (pernah suatu ketika, ibuku menanyakan keberadaan wadah tersebut padaku. Dan aku hanya menggeleng, terdiam.) I’m sorry mom…

Minggu, 28 November 2010. Sore itu aku t’lah berani mengajaknya untuk menemaniku menghadiri acara pernikahan salah seorang teman SD ku. Hal ini amat sasngat terpaksa aku lakukan karena ia bersikukuh ingin mengajakku jalan-jalan. Kami berangkat menggunakan motor masing-masing dari pombensin (tempat di mana kita janji bertemu) sekitar pukul empat. Seperti dugaanku. Banyak teman yang terkejut dengan kedatanganku yang waktu itu tak sendiri. Aku merasa sangat canggung dan tak nyaman. Apalagi ketika ia mengatakan “ternyata suasana pernikahan kaya’ gini ya dek?” Aku hanya bisa meringis. Tak hanya sampai di situ. Pertanyaan yang satu ini lebih membuatku merinding, “adek pengin nikah kapan?” OH tidak……………………………….Setahuku, jika seorang laki-laki menanyakan hal seperti itu, berarti…….(aku tak sanggup membayangkannya). Lalu aku jawab saja, “masih sangat lama”. Sepulang dari sana, ia mengajakku pergi ke suatu tempat. SAWAH. Itulah tempat yang ia tuju. Awalnya aku takut. Pikiranku bahkan dipenuhi dengan hal-hal yang biasa terjadi di film-film. Meskipun rasa takut tetap ada, tetapi dengan adanya bapak-bapak yang tengah asyik memancing di empang yang jaraknya sekitar dua meter dari kami, aku pun merasa sedikit lega. Di sana, kami terlibat percakapan, yang menurutku sedikit membosankan dan kaku. Ia banyak bertanya tentang diriku. Begitupula aku. Dari situlah aku tahu bahwa ia asli warga Magelang, dan sekarang tinggal bersama seorang temannya, di sebuah desa yang tak jauh dari tempatku. Ketika surya t’lah lelah memancarkan sinarnya, bapak-bapak itu pun bergegas untuk pulang. Salah satu di antara mereka berucap pada kami, “ojo sui-sui…mengko ndak kesambet”. Kata itu mengusik pikiranku. Segera, kuutarakan keinginanku untuk segera pulang. Namun ia belum cukup puas. Bahkan ia cukup cerdik. Entah itu benar-benar terjadi, ataukah akal-akalan darinya saja. Ia mengatakan bahwa kunci motornya hilang. Cukup lama kami mencari. Padahal kunci motor yang membuatku hampir gila itu ada di saku jaketnya. OMG! Setelah kunci tersebut diketemukan dalam kondisi utuh tak kurang suatu apa pun, segera kupasang helm, isyarat aku sudah tek betah berada di tempat itu. Namun, sekali lagi ia melancarkan siasat untuk menahanku. Dengan lugunya, ia naiki motorku dari samping. Sengaja mengulur-ulur waktu, ia mengomentari stiker yang ada di motorku. Ku coba untuk tetap menahan emosi. Setelah cukup puas mengomentari stiker, ia kembali menggombal. “Dek…boleh ga kalo mas cinta sama adek?” What??? Hah, sumpah, pertanyaan itu membuatku merinding. Apalagi wajah kami hanya berjarak dua jengkal tangan. Dengan penuh keraguan aku menjawab, “ehmmm, semua tergantung orang tuaku. Pulang yuk mas”. Singkat cerita, akhirnya aku dapat meniggalkan tempat itu. Sesampainya di rumah, aku diberondong pertanyaan dari orang tuaku. Terpaksa aku harus berbohong.

Semenjak saat itu, ia t’lah berani berkunjung ke rumah. Bahkan di saat tak satu pun orang berada di rumah selain aku. Dan seperti laki-laki kebanyakan, selalu berusha mengajakku pergi. Hal inilah yang membuatku stress. Meskipun aku telah berusaha untuk menolaknya, tapi ia tetap saja datang ke rumah, dengan alasan ingin langsung meminta izin kepada kedua orang tuaku, agar bisa mengajakku pergi.

Kedatangan pertamanya ke rumah, tak diketahui oleh siapa pun. Pagi itu ia sengaja mampir ke warung ibuku di pasar. Ketika aku pergi ke sana, aku mendapatinya tengah asyik berbincang dengan ibu. Dan ketika aku ingin pulang, ia berkeras keinginan untuk mengantarku sampai rumah. Oleh ibuku ajakan tersebut ditolak. Aku pun sependapat dengan beliau. Namun percuma. Ia mengikuti langkahku sampai ke rumah. Sepeti tanpa dosa, ia selalu berusaha untuk berjalan tepaat di sampingku, meskipun kita melewati jalan setapak yang sangat sempit.

Sore harinya ia datang lagi. Kedatangannya membuatku tak dapat tidur siang dengan nyanyak. Aku terbangun sebelum waktunya. Mempersiapkan diri untuk menyambut kedatangannya. Molor! Ia dating tak tepat waktu. Hali ini membuatku semakin malas. Hampir Maghrib ia baru datang. Awalnya orang tuaku, terutama bapakku samasekali tak curiga. Beliau hanya menganggap kami hanya teman biasa.

Di teras rumah, kita membicarakan banyak hal. Aku pun tak lupa untuk menagih jawaban darinya atas pertanyaanku tempo dulu yang belum sempat ia jawab. Aku menanyakan alasan mengapa ia menyukaiku. Namun lagi-lagi ia tak menjawab. Ia malah terburu-buru untuk pulang (hah! Laki-laki memang aneh!).

Dan sejak saat itu, ketika Jumat tiba, aku selalu cemas. Karena ia akan selalu beruasaha untuk mengajakku berkencan layaknya pasangan kebanyakan. Namun, sepertinya Tuhan lebih berpihak padaku. Ketika weekend tiba, ia selalu meminta maaf padaku lantaran tak bisa menemuiku kerena sibukkya aktivitas. Hal ini membuatku bisa sedikit bernapas lega. Pernah ia bertanya padaku, ”rasanya punya pacar aktivis gimana dek?” Waktu itu aku membohongi perasaanku. Aku menjawab kalau aku bangga menpunyai MANTAN pacar seorang aktivis. Namun di sini, aku akan mengatakan sejujur-jujurnya. Aku sangat bersyukur karena ia tak punya cukup waktu untuk menemuiku. Dan itu berarti, banyak waktu yang tersisa untukku, hanya untukku!

Di tengah keseriusan suasana kelas, kurasakan hapeku bergetar dari dalam tas. Tak kuhiraukan hingga pelajaran usai. Setelah salam penutup penanda kuliah tela berakhir, segera kubuka tas, dan kuambil hp-ku. Kubuka inbox, dan kubaca pesa darinya. Dalam pesan singkat tersebut, tersurat sebuah permintaan. Ia ingin sekali mencicipi masakan asli buatanku, bukan buatan ibuku. Segera kubalas pesan darinya. ”Emang mas suka makan apa?” Jawabnya, brownis atau sebangsa coklat. Pikiranku menerawan gjauh ke masa lalu. Bukankah dulu ia pernah aku buatkan nastar? Dan nastar itu pun asli buatan tangan dan nuranniku sendiri. Menyusahkan saja! Setelah beberapa jam, kuterima lagi pesan darinya. Kurang lebih seperti ini bunyinya ”dek, sebenarnya mas kangen sama masakan buatan ibu. Tapi semenjak ibu meniggal, ga ada lagi yang bisa buatin jangan gori + sambel goreng”. OMYGOD! Aku merasa miris mendengarnya. Kukira bapaknya saja yang telah berpulang, tapi ternyata ibunya juga. Aku jadi tak tega. Tapi mau bagaimana lagi? aku tak terlalu suka masak sayur. Masak sayur pun, hanya bisa sayur dimodel tumis. Pernah sekali terpaksa masak sayur bayam. Dan alhasil, dibandingkan dengan air hujan, rasanya lebih enak air hujan. Maka dari itu, aku labih suka buat roti, nasi goreng, rebus atau goreng telur, masak nasi, buat teh, atau merebus air. Memang, wanita dikodratkan untuk pandai memasak agar bisa memanjakan suami. Tapi bagiku, kewajiban tersebut masih sangat lama untuk aku tunaikan. Toh seiring berjalannya waktu, aku pasti akan mahir. Dan sampai sekarang, permintaan jangan lodeh sambel goreng darinya, belum bisa aku penuhi.

Malam itu, aku tidur agak telat. Sengaja aku luangkan malamku untuk membuatkan sesuatu khusus untuknya. Gantungan kunci dari kain flannel berbentuk roti coklat kecil. Pikirku, sebelum aku membuatkan yang asli, lebih manis kalau dibuat duplikatnya dulu.

Pagi hari ketika pergi kuliah, aku sempatkan untuk mampir menemuinya. Seperti biasa, sebelum pukul tujuh pagi, ia masih berada di pasar. Kuparkirkan motor, dan segera kumainkan mata mencari keberadaannya. Batinku tercengang ketika kudapati ia tengah duduk berdanpingan dengan beberapa anak kecil. Ia tak segan sarapan bersama mereka. Inilah perbedaan kami berdua. Ia berjiwa spiritual, dan penyayang anak kecil. Sedangkan aku?, yang ada di benakku hanyalah pikiran tentang ”bule” dan ”bule”. Terhadap anak kecil pun, aku tak bisa berlaku layaknya yang ia lakukan. Setelah menyapa dan terlibat perbincangan singkat, aku pun memberikan gantungan kunci tersebut kepadanya. Tak banyak kata yang aku ucapkan. Dan aku langsung menghilang dari hadapannya. Jujur, aku malu. Sesampainya di kelas dan setelah kudapatkan tempat duduk, kubaca inbox. Kudapati pesan darinya. ”Dek, tadi tiba-tiba rasa cinta mas ke adek naik jadi 100%... (dilanjutkan dengan kutipan dari salah satu ayat Al-Qur’an)”. Gurauku dengan teman-teman ”ah GOMBAL!”.

Suatu ketika, ia menyuruhku untuk menemuinya di salah satu masjid di pusat kota Semarang, lantara ia tak punya cukup waktu untuk menemuiku. Di sana, ia menjadi panitia dalam sebuah pengajian akbar. Karena lokasinya yang tak jauh dari kampus, tanpa pikir panjang, sepulang kuliah aku menuju ke tempat tersebut. Seusai ibadah Asar, aku bertemu dengannya. Dengan nada suaranya yang halus, ia mengajakku mencari ATM. Saat berjalan bersamanya, aku merasa sangat canggung dan risih. Rasanya tak senyaman dan sesantai jika aku pergi bersama teman-temanku pada umumnya. Sepanjang perjalanan, kita banyak bercerita. Ia pun juga menanyakan respond orang tuaku tentang dirinya. Dengan ada sesuatu yang mengganjal perasaan, aku jawab saja bahwa respon dari kedua orang tuaku baik. Padahal, tanggapan dari bapak terhadapnya tak seperti yang aku utarakan. Sesudah menarik tunai, ia mengajakku untuk pergi makan. Aku bingung. Aku lapar, tapi nurani tak mengijinkannku menuruti keinginan perut. Kulihat jam yang menggelangan di tangan. Pukul 16:30. Pikiranku melayang. Aku lupa bahwa sore itu ada serial drama Korea yang aksi aktornya tak boleh ku lewatkan. Aku pun buru-buru izin pulang. Dengan nada agak berat, ia membiarkanku pulang.

Keesokan harinya aku pun datang lagi menemuinya. Kebetulan waktu itu kelas selesai sebelum pukul duabelas. Di sana aku hanya mampir solat. Setelah itu kami pun pulang. Sekitar jarak 3 meter di belakangnya, aku dapat melihat gantungan kunci coklat, menggantung di tas punggungnya. Tak kusangka ia akan memasangnya. Di tengah perjalanan, kami singgah sejenak di warung es buah. Ngobrol sembari menikmati es. Ia sempat bertanya pendapatku tentang penampilannya yang saat itu memakai baju koko dan sarung. Kuhanya bisa menjawabnya dengan senyuman. Dan lagi-lagi ia menanyakan pendapat orang tuaku tantang dirinya. Aku bosan dengan pertanyaan itu. Karena setiap kali harus menjawabnya, aku telah membohongi dua orang. Ia, dan diriku. Beberapa kali ia juga mengutarakan niatnya untuk mengajakku pergi jalan-jalan, bahkan hingga ke luar kota. Tentu saja aku tak mau! Belum apa-apa sudah nekat. Jangan-jangan, setelah ia berhasil mengajakku pergi, hal-hal yang tak di inginkan oleh semua wanita normal akan terjadi. Layaknya sinetron yang sering tayang di negri ini. Dan aku pun sangat tak menginginkan hal tersebut. Setelah menikmati kesegaran es, kami pun bergegas pulang. Sempat terucap darinya, keinginan untuk mengantarku sampai rumah. Aku gelisah. Aku takut akan amarah orang tuaku, ketika mengetahui aku pulang bersamanya. Kuputar otak mencari akal agar ia tak mengantarku pulang. ”Ehmm...gimana ya? sore nantikan mas ada kuliah, lagi pula ini juga udah siang, lebih baik istirahat aja dulu, pasti mas capek. Aku bisa pulang sendiri kok..” Hahaha... Berhasil. Akhirnya ia semakin menghilang dari pandangan. Pertanda bahwa ia terpaksa mengurungkan niatnya.

Hari demi hari t’lah bergulir. Kurasakan waktu begitu lama. Hatiku gundah gulana, waktuku carut marut. Habis hanya untuk memikirkan cara menjauh darinya. Aku makin tak nyaman. Bapak pun telah berkali-kali melontarkan meriam ancaman kepadaku. Bapak curiga. Apalagi saat kedatangannya malam tahun baru. lalu. Memang, ia tak berhasil mengajakku pergi. Kerena memang di kampungku mengadakan acara sendiri untuk memperingati malam pergantian tahun 2010 lalu. Ketika aku tengah asyik menyaksikan pentas seni, hapeku berbunyi. SMS darinya mengagetkanku. Tengah malam, ia tak segan untuk menganjakku pergi keluar menikmati wedang ronde. Meskipun itu baru niatan, tapi akalku tak bisa menerima keinginannya tersebut. Apa pantas tengah malam wanita pergi hanya berdua dengan laki-laki yang bukan makhromnya? Jangankan dari kacamata agama, dari kacamata sosial pun hal ini sangat tidak etis, khususnya di lingkungan yang memegang teguh norma kesopanan, layanknya yang dianut kebanyakan dari tetanggaku. Tak ada toleransi lagi unuknya. Aku kira, bekal agama yang diperolehnya satu tahun setelah mengenyam pendidikan di pesantren akan menjadi benteng baginya dari segala bentuk pikiran dan perbuatan tak terpuji. Tapi ternyata dugaanku meleset.

1 Januari 2011. Di depan komputer, kuluapkan semua perasaanku selama ini terhadap dirinya. Dalam satu halaman tersebut, memuat semua luapan emosiku selama sebulan bersama dirinya. Dan aku putuskan untuk mengakhiri hubungan cinta kasih yang memenatkan batinku tersebut. Surat tersubut aku masukkan dalam Flash Dish miliknya, yang saat itu dipinjamkannya padaku, lantaran ia ingin memberikan beberapa gambar kreasi kain flannel, yang sedang aku tekuni guna manambah isi dompet. Ketika kubuka Flash Dish miliknya, aku ternganga melihat beberapa foto dari Facebookku, berjajar rapi di filenya. Semua ini jauh dari anganku sebelumnya. Tapi mau diapakan lagi? aku tak berani menghapus data orang sembarangan. Tanpa menghiraukan hal tersebur, langsung saja kucopy gambar flannel yang kemudian kupaste ke my dokument. Begitupula dengan surat ”talak” yang telah aku buat. Dengan perasaan tak tega, kucopy ke Flash Disknya.
Keesokan harinya, lewat pesan singkat ia mengutarakan maksud untuk mengajakku pergi ke Bonbin Mangkang. Pengganti keinginannya yang gagal kemarin. Berapa juta kata yang telah kulontarkan guna menolak kainginannya? Aku lelah hidup dalam bayang-bayang kebohongan. Aku lelah menanggung dosa akibat perbuatanku selama ini. Dengan sangat terpaksa, lagi-lagi aku harus berbohong. Aku katakan, bahwa pagi itu aku ada janji belanja dengan teman. Namun sepertinya ia tak dengan mudah menerima alasanku tersebut. Malahan dalam SMSnya tertulis ”lagipula mas tidak suka dengan cewek konsumtif”. What??? Lagipula, konsumtif atau tidak, itu bukan urusannya. Kalau toh aku belanja, itu pun juga uang-uangku sendiri. Apa urusannya dengan dia? Saat itu aku benar-benar jengkel! Sekali lagi aku membantah. Dan ia pun terpaksa mengalah. Lalu siang harinya ia mengirim SMS yang mengatakan bahwa sore nanti ia akan datang ke rumah. SMS tersebut tak ku hiraukan. Aku lelah berbohong.

2 Januari 2011. Aku yang tengah terlelap, tiba-tiba terusik oleh kalimat yang terdengar dari luar kamar. ”Jung...tangi! Goleki Yoyok”. Ah! Aku benar-benar enggan. Namun kalimat tersebut terdengar beberapa kali. Kubuka mata perlahan, dan kudapati sesosok berdiri di depan pintu kamar. Bapak membangunkanku, menyuruhku menemuinya. Dengan langkah ynag terseok-seok, kuturuni tangga. Langkah tak langsung membawaku menemuinya. Aku transit terlebih dahulu ke kamar mandi. Setelah itu, barulah aku menemuinya.Dengan nada yang masih sangat berat, aku merespon pertanyaannya. Setelah nyawa terkumpul dan kembali menyatu di raga, kami pun berbincang. Disela-sela pembicaraan yang kaku, ia melaporlan bahwa gantungan kunci yang aku berikan putus. ”Dek, bisa perbaiki ga? Ini ditarik-tarik anak kecil...jadinya putus”. Ketika kuamati, gantungan itu tak hanya putus, tapi juga terdapat kerusakan pada pernak-perniknya. Dalam hati kuberkata, ”OMYGOD...ngowo perasaan sitik ngono lho!...Feelinge rak maen tenan ki! Iki berarti pertanda meh putus...Dasar cowok!” Dan sesaat kemudian, terdengar dari dalam bapak memanggil. DRENG-DRENG... Genderang awal perpisahan telah dibunyikan. Bapak memanggilnya untuk masuk dan bicara empat mata. Dari luar, terdengar jelas olehku, apa yang mereka berdua sedang bicarakan. Kesimpulan dari pembicaraan empat mata delapan telinga tersebut, bahwa bapak sangat tidak menginginkan dan sangat tidak mengijinkan diriku berpacaran dengan siapa pun, sebelum aku selesai kuliah, bekerja, dan hidup mandiri. Bagus pak!

Seusai pembicaraan tersebut, aku masuk untuk menemuinya. Ia hanya terdiam, dan sesekali tersenyum terpaksa kepadaku. Kulihat, matanya merah, berkaca-kaca. Aku tak tega. Kupalingkan mukaku ke layar TV. Di antara suara iklan di TV, kudengar jelas suara sesenggukan darinya. Ia mencoba untuk menyembunyikan airmata. Entah hal itu benar atau tidak, yang jelas inderaku mengatakan demikian. Tak banyak kata yang terucap darinya setelah itu. Ia pun buru-buru pamit pulang. Ibuku yang mengetahui tindakan bapak, merasa sangat iba melihatnya berpamitan pulang. Aku pun juga merasa demikian. Tapi semua ini harus secepatnya diakhiri.
Malam harinya, hapeku berdering. Sudah kuduga, lewat SMS ia memaksaku untuk tidak menuruti kemauan bapak. Dan yang membuat hatiku bergetar adalah pertanyaan yang ia ajukan kepadaku, yang hingga sekarang aku pun bingung untuk menjawabnya. ”Do you still love me?” Satu kalimat yang membuatku gundah. Dan berkali pula aku bertanya kepada diriku, do I still love him? Or even I never love him? Whatever! Mungkin kerena ia rasa aku terus mengelak untuk memihak padanya, ia meledak. Dalam setiap kata yang ia tulis, sarat akan amarah. Bahkan, ia berani membanding-bandingkan keyakinan yang aku yakini dengan keyakinan yang ia yakini selama ini. Ia menganggap hal inilah yang menjadi penghalang. Dan ia juga beranggapan bahwa dengan dipertemukannya diriku dengan dirinya, ini akan menjadi awal yang baik bagiku. Dengan kata lain menjadi ia akan menjadi pencerah bagiku. Aku pun geram. Aku tak suka membicarakan masalah sesensitif ini. Dan aku pun tak pernah memaksanya untuk meyakini apa yang aku yakini. Apalagi menghukumi suatu keyakinan adalah sesat. Aku sama sekali tidak suka. Apalagi negara kita sejak dulu telah menjamin kebebasan setiap rakyatnya untuk memeluk agama dan keyakinan merka masing-masing, seperti yang tertuang dalam pasal 29 UUD 1945. Dan aku berusaha untuk meyakinkannya, bahwa aku akan tetap berada di jalanku sendiri. Aku masih ingin bebas.

Keesokan hari, dalam SMSnya, ia mengaku salah dan meminta maaf. ”...Dek, bila ini yang adek inginkan dan adek merasa bahagia, baiklah...”. Kurang lebih begitu. Dari bahasanya, aku dapat mengetahui, bahwa ia belum bisa merelakan perpisahan ini. Mungkin ia hanya butuh waktu.
Beberapa minggu setelah itu, tapatnya 8 Januari 2011, lewat message FB ia membalas surat ”talak” yang dulu aku ajukan. Begini isinya. ”Bismillah, perjalanan kita masih jauh dek. Afwan mas belum bisa mengambil keputusan tanpa memperhatikan haal-hal lain dalam hidup ini. Kalau kita telah tersurat dalam Lauhul Mahfuz sebagai pasangan dalam menyempurnakan separuh agama kita, Insyaallah kita akan dipertemukan lagi. Cinta adalah suatu perasaan terhadap sesuatu yang tidak akan berubah apapun yang terjadi (Murray Oxman). Biarkan cinta kita bertasbih dalam senubari hingga Arrahman membukakan pitu kemudahan.”.
Pesan yang indah darinya ini, tak aku balas. Kuanggap semuanya sudah jalas.
16 Januari 2011. Untuk yang kedua kalinya, ia mengirim pesan lagi untukku. Untuk pesan yang satu ini, sedikit membuatku teremehkan. Memang, seperti pesannya yang pertama, ia mengguanakan bahasa-bahasa yang dapat membius hati kaum Hawa. Namun, ia tak menyadari, bahwa ada beberapa kata yang menyingguang perasaanku. Aku merasa dianggap lemah. Kata-kata tersebut menyebutkan bahwa aku tak berdaya menghadapi perpisahan ini. Aku yang waktu itu dikuasai emosi, membalas pesan yang indah tersebut dengan beberapa pertanyaan yang sedikit memaksa dan agak sadis. ”Why do you love me? Why do you hope me? Why do you pray for me? Why do you wait me? Why don’t you love someone else? Why should my self?” Hingga saat kutulis catatan ini, ia tetap bungkam, diam seribu bahasa.
Dan sejak saat itu aku sadar, bahwa selama ini aku tak benar-benar menyayanginya seperti halnya ia menyayangiku. Aku kecewa telah mengecewakan seseorang yang tulus kepadaku. I’m sorry, good bye…

Penulis mohon maaf, apabila ada pihak yang merasa tersakiti karena tulisan ini. Terima kasih.
Share

3 comments:

inounk on 9:19 am, June 15, 2011 said...

sad ending njung...
huhuhhhuuuuuuuuuuuuuuuuu..... :'(

Ratna Tanjung on 9:42 am, June 15, 2011 said...

haha....
bagiku happy ending...

tertekan ug nunk...

Unknown on 9:59 am, August 01, 2012 said...

curcol njung...

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...
Powered by Blogger.
 

Brain & Soul Energy Copyright © 2010 Designed by Ipietoon Blogger Template Sponsored by Online Shop Vector by Artshare