Bicara soal laboratorium, ingatan kita pasti selalu tertuju pada sebuah profesi. Profesi tersebut tak lain tak bukan adalah Analis Kesehatan. Analis Kesehatan adalah profesi yang berperan menegakkan diagnosa klinis melalui pemeriksaan laboratorium. Untuk memastikan jenis penyakit, sample darah pasien akan diperiksa di laboratorium. Tak hanya sample darah yang akan diperiksa di laboratorium. Urine, faces, sputum, LCS, cairan sendi, dan masih banyak hal yang harus diperiksa di laboratorium guna memperkuat diagnosa klinis. Profesi sebagai seorang analis kesehatan kini tengah naik daun. Sebagai operator laboratorium, analis kesehatan menjadi ujung tombak untuk mendiagnosa berbagai penyakit. Padahal dulu dokter bagaikan “dewa”, dan dianggap sebagai satu-satunya tenaga medis yang berwenang menentukan derajat kesehatan pasien. Seiring dengan perkembangan ilmu kesehatan, makin terbukalah rahasia tautan derajat kesehatan da komposisi kimia dalam tubuh manusia. Alhasil, ujui klinis seperti sample darah, urine, dan kandungan lain dalam tubuh sangat penting untuk memastikan jenis serta stadium penyakit yang diderita pasien. Oleh sebab itu wajar jika muncul klaim bahwa peluan kerja analis kesehatan di masa sekarang dan mendatang makin cerah. Klaim tersebut antara lain terucap dari bibir Ketua Program Studi Analis Kesehatan Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus), Budi Santoso, SKM. “Mereka bias bekerja di instansi pemerintah (sebagai PNS), rumah sakit swasta, laboratorium swasta, maupun marketing diagnostic. Keberadaan tenaga analis kesehatan yang professional kian dibutuhkan masyarakat”, ujarnya. Mengapa analis kesehatan makin laris manis? Budi Santoso menunjukkan dua faktor. “Pertama, munculnya paradigma kesetaraan di antara tenaga medis. Dulu, ada kesan bahwa perawat, analis, serta tenaga medis lainnya hanya sekadar pembantu dokter. Saat ini muncul paradigma baru bahwa setiap tenaga medis merupakan sejawat yang saling membutuhkan. Alasan kedua, masyarakat makin menyadari pentingnya tenaga analis da nlaboratorium kesehatan. Oleh karena itu pemerintah menetapkan setiap puskesmas harua memiliki sekurangnya satu tenaga analis kesehatan”. Meskipun peluang kerjanya yang besar, tetapi sampai sejauh ini populasi prodi analis kesehatan relative kecil. Di Jawa Tengah sendiri hanya ada tiga perguruan tinggi di bawah Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti), Depdiknas, yamg memiliki prodi tersebut. Ketiganya merupakan perguruan tinggi swasta (PTS), yakni Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus), Akademi Analis Kesehatan Pekalongan, dan Universitas Setia Budi Surakarta. Fenomena ini juga terjadi dalam skala yang lebih lua, yaitu nasional. Pasalnya sampai saat ini baru terdapat 20 program studi analis kesehatan di seluruh Indonesia. Hampir semua prodi analis kesehatan di Indonesia berjenjang diploma tiga (D3). Satu-satunya yang berjenjang strata satu (S1) hanya dimiliki Universitas Hasanuddin Makassar. Populasi prodi lain pada bidang ilmu yang sama, seperti analis farmasi, dan analis kimia juga relative kecil. Bahkan prodi refraksi optisi baru dimiliki lima perguruan tinggi di Indonesia. Salah satunya Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (Stikkes) Hakli Semarang. Berdasarkan kurikulum yang ditetapkan Departemen Kesehatan, mahasiswa analis kesehatan juga memperoleh bekal di bidang analis medis, industri, da kimia. Untuk jenjang D3, pembelajaran ditempuh selama enam semester, dengan beban 110-120 SKS. Ada tiga kompetensi utama yang diajarkan, yakni bidang klinis, mikrobiologi, dan kimia. Bidang klinis mencakup hematology, kimia klinik, imunoserologi, dan patologi anatomi. Sedangkan pada mikrobiologi diajarkan bakteriologi, mikologi, histology, dan parasitologi. Kemudian kompetensi kimia bias dirinci menjadi kimia analisa, kimia amami (air, makanan, minuman), kimia farmasi, serta biokimia.
Pada saat yang sama kesadaran masyarakat untuk meningkatkan taraf kesehatan dan kualitas hidup juga meningkat. Salah satunya ditandai dengan menjamurnya klinik atau laboratorium kesehatan. Budi Santoso pernah melakukan survey sederhanauntuk mengetahui inisiatif pasien yang dating ke laboratorium kesehatan. Ternyata separuh responden mengaku datang atas inisiatif sendiri. Artinya bukan karena ada rekomendasi dokter. Mudahnya memperoleh informasi kesehatan, membuat masyarakat seakan mengabaikan peran dokter. “Dengan berpatokan pada uji hasil laboratorium, masyarakat kemudian melakukan terapi penyakit secara mandiri. Pada batas tertentu hal ini diperbolehkan. Misalnya hasil uji kadar gula darah digunakan sebagai patokan diet bagi penderita diabetes. Namun peran dokter juga masih sangat diperlukan untuk memberi terapi secara menyeluruh”, ujar Budi Santoso.
Share
Pada saat yang sama kesadaran masyarakat untuk meningkatkan taraf kesehatan dan kualitas hidup juga meningkat. Salah satunya ditandai dengan menjamurnya klinik atau laboratorium kesehatan. Budi Santoso pernah melakukan survey sederhanauntuk mengetahui inisiatif pasien yang dating ke laboratorium kesehatan. Ternyata separuh responden mengaku datang atas inisiatif sendiri. Artinya bukan karena ada rekomendasi dokter. Mudahnya memperoleh informasi kesehatan, membuat masyarakat seakan mengabaikan peran dokter. “Dengan berpatokan pada uji hasil laboratorium, masyarakat kemudian melakukan terapi penyakit secara mandiri. Pada batas tertentu hal ini diperbolehkan. Misalnya hasil uji kadar gula darah digunakan sebagai patokan diet bagi penderita diabetes. Namun peran dokter juga masih sangat diperlukan untuk memberi terapi secara menyeluruh”, ujar Budi Santoso.
0 comments:
Post a Comment